Kamis, 11 November 2010

MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN

MANUSIA DAN ILMU PENGETAHUAN



Perbedaan tafsir antara pihak naturalis-positivis dengan pihak simbolis-strukturalis memunculkan gagasan: bagaimana kalau Sitor sendiri diminta menjelaskan maksud puisinya tersebut. Maka diundanglah Sitor untuk menjelaskan proses penciptaan puisi itu. Sitor pun kemudian bercerita; suatu malam ia berjalan kaki hendak menuju rumah Pramoedya Ananta Toer, dan ternyata ia tersesat. Di saat tersesat itu, ia melihat sebuah tembok putih. Ia penasaran; apa yang ada di balik tembok itu. Maka, Sitor pun lantas naik di atas batu di dekat tembok, dan melongok: “… Oo… kuburan.” Kemudian ia turun dan melanjutkan jalan kakinya mencari rumah Pram. Rupanya pengalaman menemukan tembok putih, melongok, dan melihat kuburan tersebut sangat membekas dalam diri Sitor, dan tidak dapat segera dilupakan. Ia kemudian mengekspresikan pengalaman itu dalam puisi sebarisnya yang telah menghebohkan banyak orang itu. Tidak dijelaskan, apakah peristiwa itu dialaminya pada malam lebaran atau malam-malam yang lain, tidak pula dijelaskan apakah malam itu dia melihat bulan.

Kisah perdebatan seputar puisi Sitor di atas, yang diceritakan kembali berdasarkan buku Proses Kreatif susunan Pamusuk Eneste, merupakan ilustrasi yang baik mengenai perbedaan antara realitas, pengalaman, dan ekspresi. Perbedaan antara ketiga hal itu telah menarik perhatian para antropolog dan dituangkan, antara lain, dalam buku Anthropology of Experience yang diedit oleh Victor W. Turner dan Edward M. Bruner (1986). Mengawali kumpulan karangan yang terkumpul di buku itu, Bruner menegaskan adanya jarak antara (1) realitas (yang senyatanya ada di luar sana, apapun itu – status ontologis sesuatu), (2) pengalaman (bagaimana realitas tersebut menghampiri kesadaran manusia – atau lebih tepatnya, bagaimana kita menautkan diri dan menginternalisasi realitas), dan (3) ekspresi (bagaimana pengalaman seseorang dibingkai dan diartikulasikan). Ketiga hal itu tidak identik satu sama lain.

Realitas bersifat umum, general (walaupun barangkali tidak selalu universal), dalam arti kenyataan yang sama dapat dialami oleh banyak orang. Banyak orang dapat mengalami kejadian tersesat di waktu malam di daerah yang sama dan menjumpai kuburan yang sama (bahkan pada waktu yang sama). Namun, realitas yang sama itu selalu dialami orang per orang, masing-masing dengan disposisi mental serta ketubuhannya sendiri. Dengan lain kata: pengalaman itu selalu bersifat individual, subyektif. Disposisi mental (alam pikir, rasa, emosi yang ada dalam diri) dan ketubuhan (kondisi fisik dan posisinya dalam lingkungan fisik) Sitor pribadi lah yang telah mengarahkan kejadian tersesat tadi kepada sebuah pengalaman yang unik dan membekas. Kalau kejadian itu saya atau Anda alami, barangkali tidak akan teralami seperti itu. Artinya, realitas yang sama, umum, general, ketika dialami seseorang akan ‘disaring’ lewat disposisi mental dan fisiknya menjadi pengalaman diri. Maka, terciptalah jarak atau perbedaan antara realitas dan pengalaman, pengalaman tidak lagi identik dengan realitas.

Lebih lanjut dikatakan Bruner bahwa hubungan antara realita, pengalaman, dan ekspresinya bersifat dialogis dan dialektis. Ketika pengalaman sesorang diekspresikan, artinya dituangkan dalam bentuk atau tingkahlaku ter-indra (terdengar, terlihat, tercecap, terasa, terbaui), maka hasil interpretasi subyektif atas realita tadi terlahir atau hadir dalam realita. Sementara itu, ekspresi terstruktur oleh pengalaman (kita hanya dapat mengekspresikan yang teralami), sedangkan pengalaman juga tersktruktur oleh ekspresi (orang Jawa mengalami kehormatan melalui ekspresi kebahasaan krama, atau pengalaman keruangan terstruktur oleh ekspresi artistik dan teknis sang arsitek).

Dari sini kita dapat beralih pada persoalan media ekspresi. Sebagai sebuah aktivitas pengejawantahan, pewujudan, materialisasi, penubuhan (embodiment), ekspresi senantiasa membutuhkan media. Secara teoretik dapat dikatakan segala sesuatu yang indrawi berpeluang untuk dijadikan media ekspresi. Namun dalam praktiknya, peluang tersebut sedikit banyak terbatasi. Salah satu pembatasnya adalah pengalaman itu sendiri. Sekedar sebagai sebuah contoh sederhana, mari kita perhatikan ekspresi kebahasaan untuk rasa panas. Dalam bahasa Indonesia, rasa panas antara lain diekspresikan lewat kata ‘merah,’ misalnya dalam frasa ‘merah membara.’ Rasa ‘panas’ dan warna ‘merah’ merupakan gejala yang dialami manusia, dan hubungan di antara keduanya dijembatani oleh pengalaman manusia atas kedua gejala tersebut: bara atau api yang terasa panas sekaligus memancarkan sinar berwarna merah. Panasnya bara api tidak dialami bersama dengan terindranya warna hijau, misalnya. Di sini kita dapati contoh bagaimana pengalaman tersebut men-struktur ekspresi kebahasaan untuk pengertian panas.

Namun, sebenarnya perkembangan teknologi ‘perkomporan’ menghadirkan realita lain: sinar biru yang terpancar dari kompor gas ternyata menandakan suhu api yang lebih tinggi daripada sinar berwarna merah. Dengan demikian, sebenarnya terdapat peluang untuk mengekspresikan ‘panas’ lewat kata ‘biru.’ Hanya saja, peluang semacam itu baru terbuka ketika kita telah mengalaminya. Sebelum hadirnya teknologi kompor gas orang tidak pernah membayangkan (artinya: memiliki pengalaman mental) bahwa warna biru dapat dihasilkan oleh benda panas. Pengalaman selalu bersifat historis (menyejarah), ia berada dalam kurun waktu material dan teknologi manusia tertentu.

Bahkan, ketika teknologi kompor gas sudah menjadi hal yang biasa dalam kehidupan kita sehari-hari, frasa ‘panas membiru’ belum lagi lazim diungkapkan. Di sini terlihat bagaimana pengalaman kebahasaan turut men-struktur ekspresi, yaitu dalam bentuk konvensi (kesepakatan) atau kelaziman bahasa. Lewat kesepakatan dan kelaziman seperti itu ekspresi kebahasaan menjadi lebih mudah dan lebih tepat dimengerti; meskipun pada dasarnya pengalaman selalu bersifat personal (hanya dapat dimengerti sepenuhnya oleh pemilik pengalaman) dan dalam komunikasi kita selalu menafsir ekspresi [kebahasaan, ketubuhan, materi] komunikator. Singkat kata, pengalaman [kebahasaan] yang sudah ada turut membingkai dan membatasi tindakan ekspresi manusia.

Selain oleh pengalaman (lebih tepatnya pengalaman kolektif yang terkonvensi), ekspresi juga dibatasi oleh sifat dan kondisi material media ekspresinya. Kembali ke contoh ekspresi rasa panas, hal itu dapat diekspresikan lewat media bahasa tulis, bahasa lisan, angka, grafis, warna, gerak tubuh, dan entah apa lagi. Setiap media ekspresi memiliki sifatnya masing-masing, dan pada gilirannya sifat-sifat itu ikut menentukan seberapa jauh/banyak/luas materi tersebut mampu mengekspresikan rasa panas. Misalnya, bahasa tulis cenderung beroperasi di wilayah kognitif (alam pikir). Tulisan ‘panas’ merangsang pengertian kita mengenai suhu, seperti halnya angka penunjuk suhu pada termometer. Namun, bahasa tulis pada umunya cenderung kurang berdaya untuk mengolah perasaan (afeksi) pembacanya. Untuk dapat mengelola rasa lebih baik, maka barangkali perlu diurus perihal grafis, misalnya: panas panas panas panas panas panas
atau bahkan …. ……
Pada saat kita mempertimbangkan media ekspresi, maka sebenarnya kita berurusan dengan persoalan representasi. Ekspresi adalah representasi, dan representasi atas realita tidak sama dengan realita itu sendiri. Ekspresi menghadirkan realita ‘kedua,’ ‘ketiga,’ dan seterusnya yang sama nyatanya seperti halnya realita ‘pertama.’

Ilmu Pengetahuan

Hubungan antara realitas, pengalaman, dan ekspresinya seperti disebutkan di atas juga berlaku dalam dunia keilmuan, atau lebih tepatnya dunia ilmu pengetahuan. Realitas merupakan titik berangkat dari semua ilmu pengetahuan, baik itu realitas empirik maupun realitas non-empirik. Bagi ilmu pengetahuan tertentu, realitas juga merupakan titik akhir – hal yang ingin dituju atau dihasilkan, diciptakan oleh ilmu pengetahuan. Namun demikian, bagaimana realitas itu dialami (experienced) oleh [pelaku] ilmu pengetahuan jelas berbeda dengan yang dialami oleh (misalnya) seorang penyair. Jadi, dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan salah satu cara mengalami realitas – sehingga dalam pengertian ini dapat kira rujuk kembali petuah leluhur Jawa yang mengatakan bahwa “ngelmu iku jalaran lan kanthi laku.” Tentu saja, ngelmu tidak sama dengan ilmu pengetahuan. Namun wejangan tersebut menegaskan peran ngelmu dan ilmu pengetahuan sebagai cara memandang menempatkan diri, dan mengelola realita.

Bahkan, dalam dunia ilmu pengetahuan (sebenarnya seperti juga dalam dunia ngelmu) tidak terdapat ketunggalan cara mengalami realita, dan perbedaan cara mengalami tersebut pada gilirannya menghasilkan beragam jenis ‘tahu’ yang diekspresikan masing-masing disiplin ilmu pengetahuan. Di atas telah disebutkan bahwa pengalaman merupakan hal yang subyektif. Pada lingkup ilmu pengetahuan, subyektivitas pengalaman tidak tampil dalam bentuk subyektivitas orang per orang, melainkan sebagai subyektivitas disiplin keilmuan, atau subyektivitas paradigmatik. Realitas tubuh manusia dialami oleh ilmu kedokteran sebagai sebuah sistem biologi, sementara tubuh yang sama dialami oleh ilmu sosial sebagai tubuh perempuan dan laki-laki (misalnya). Ilmu kedokteran dan ilmu sosial menegakkan ‘penge-tahu-an’ mereka masing-masing berdasarkan cara memandang, menempatkan diri, dan mengelola realita yang sama, yaitu tubuh manusia.

Sebuah implikasi penting dari penjelasan semacam itu adalah dengan demikian ‘ke-tahu-an’ yang diperoleh melalui masing-masing cara mengalami itu tidak akan pernah menghasilkan ‘ke-tahu-an’ yang total, menyeluruh. Kebenaran setiap bidang ilmu pengetahuan selalu merupakan kebenaran parsial, sebagian saja: yang batas-batasnya ditentukan oleh cara yang ditempuh untuk mengalaminya. Atau, dipahami dari sisi sebaliknya: kebenaran realita terlalu luas untuk dapat dialami dan dimengerti (diketahui) oleh masing-masing ilmu pengetahuan. Itulah pengertian pertama dari pernyataan bahwa ilmu pengetahuan tidak akan pernah obyektif, tidak akan pernah netral – yaitu karena berlakunya subyektivitas yang dibangun berdasarkan asumsi perspektif dan metodologis. Pengetahuan niscaya tentang sesuatu, tidak pernah tentang segalanya.

Ilmu pengetahuan (alam, sosial, budaya) dan akal-sehat (common-sense) dalam hidup sehari-hari tumbuh dari akar yang sama, yaitu keingin-tahuan manusia. Namun pertumbuhan keduanya berbeda. Perbedaan tersebut bisa dipahami sebagai berikut: Pertama, akal-sehat berorientasi pada pemecahan problem nyata sehari-hari yang praktis, sementara ilmu pengetahuan bertujuan pada penemuan penjelasan tentang tata dan keteraturan gejala-gejala yang dijumpai manusia. Akal-sehat cenderung mencari jawaban-jawaban atas satu per satu persoalan yang dihadapi; dan persoalan keseharian serta pemecahannya kebanyakan bersifat terbatas pada hal ini, di sini, saat ini. Oleh karenanya pengetahuan yang dihasilkan melalui akal sehat mempunyai keterbatasan penerapan pada situasi dan kondisi yang serupa. Akal sehat cenderung kontekstual. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan mengarah pada penjelasan-penjelasan yang bersifat general (umum) tentang kelompok atau jenis gejala tertentu. Itu sebabnya ilmu-pengetahuan mengembangkan teori, konsep, rumus; yang tidak sekedar mengacu pada hal-hal yang khusus saja, melainkan berupaya menemukan penjelasan bagi hal-hal sejenis yang muncul di waktu dan dalam ruang yang berbeda. Dengan kata lain ilmu pengetahuan berupaya mencapai suatu pengetahuan yang bersifat universal. Karena sifatnya yang universal itu, salah satu ciri yang membedakan ilmu dari akal-sehat adalah lebih tingginya tingkat abstraksi pada ilmu.

Pebedaan berikutnya terletak pada cara kerja kedua jenis pengetahuan tersebut. Cara kerja akal-sehat dalam kehidupan sehari-hari menyandarkan diri pada kebiasaan, intuisi, pengalaman dan pendapat umum yang kebenarannya seringkali tidak dipertanyakan secara tuntas. Manfaat praktis yang dapat segera dirasakan merupakan pedoman utama bagi akal-sehat. Berbeda darinya, ilmu pengetahuan bekerja berdasarkan dan dibangun dari keraguan yang dipertahankan selama mungkin pada setiap jenjang ‘tahu.’ Cepat puas terhadap jawaban yang diperoleh bukan merupakan sikap yang tepat bagi ilmu pengetahuan. Sebaliknya, sikap kritis terhadap temuan-temuan ilmiah merupakan hal yang terpuji. Salah satu bentuk keraguan yang harus selalu dimunculkan adalah apakah kebenaran yang diklaim oleh ilmu pengetahuan terbukti secara universal. Bentuk keraguan yang lain, misalnya dapat muncul berupa pertanyaan “Kapan pernyatan bahwa bumi itu bulat bisa dianggap sebagai kebenaran?” Bila memang bulat, lalu mengapa ada dataran dan kelandaian, lembah yang curam? Salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari contoh keraguan tersebut adalah kehadiran sudut pandang (perspektif) yang selalu terkandung dan melekat pada kebenaran ilmiah. Kebenaran ilmiah dianggap benar sebatas diikuti cara pandang atau perspektifnya. Dengan demikian prosedur kerja ilmiah, yakni proses dan cara yang ditempuh untuk mencapai ‘tahu,’ merupakan bagian penting dan tak terpisahkan dalam ilmu. Secara garis besar, proses tersebut mengutamakan cara berpikir yang sistematis dan logis. Ilmu pengetahuan bersifat sistematis dalam arti bahwa proses dan cara yang ditempuh dalam ilmu harus dilakukan dengan memperhatikan unsur-unsur penyusun atau faktor-faktor penyebab sesuatu hal yang ingin diketahui serta hubungan logis antar unsur-unsur tersebut ke dalam sebuah sistem. Ilmu juga sistematis dalam pengertian bahwa kebenaran yang dicapai sebuah ilmu merupakan hasil dari cara kerja tertentu yang berlaku dalam ilmu tersebut, dan mungkin saja status kebenarannya tidak sederajat bila dipelajari secara ilmu lain. Itu sebabnya, ilmu sering pula diberi kata awalan ‘disiplin’ karena ia mensyaratkan keketatan prosedural tertentu.

Perbedaan ketiga terletak pada perbedaan antara rentang usia ‘kehidupan’ ilmu pengetahuan dan akal-sehat. Karena ilmu pengetahuan mengambil sikap kritis terhadap pengetahuan yang dihasilkannya, akibatnya rentang hidup ilmu cenderung lebih pendek daripada akal-sehat. Kebenaran demi kebenaran datang dan pergi silih berganti seiring dengan munculnya teori baru. Melalui prosedur tersebut ilmu pengetahuan menjadi sistem yang dinamis; ada temuan baru yang memperkaya khasanah ilmu, terjadi perluasan bidang kajian, tapi ada pula bagian-bagian ilmu pengetahuan yang berangsur-angsur ditinggalkan, menjadi usang, dan akhirnya tak lagi diingat apalagi dipakai. Itulah garis besar siklus hidup ilmu pada umumnya. Kecepatan perubahan dan rentang usia kebenaran seperti itu tentunya berbeda dari akal-sehat yang cenderung lebih lamban siklus hidupnya.

Bagaimana dengan siklus hidup ilmu-ilmu sosial-budaya? Sosiologi, sejarah, ilmu bahasa, antropologi, ekonomi dan geografi sosial juga tidak terlepas dari siklus semacam itu. Bahkan bisa dikatakan ilmu-ilmu sosial-budaya lebih dinamis daripada ilmu-ilmu alam (science), karena obyek studinya adalah perilaku dan mental manusia di segala penjuru dunia dari waktu ke waktu. Perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat tentunya membawa implikasi pada kebenaran yang diklaim oleh ilmu pengetahuan sosial-budaya. Sebagai contoh, perkembangan teknologi komunikasi saat ini telah mengantar warga dunia pada era komunikasi global via internet, dengan email, voicemail, dan entah apa lagi. Perkembangan ini tentunya membawa akibat pada terjadinya perubahan perilaku komunikasi manusia. Misalnya, kita tidak lagi harus bertanya untuk mendapatkan informasi. Dilandasi slogan demokratisasi informasi, sekarang hanya dengan memiliki alamat email atau menjadi anggota mail-list tertentu, maka kita akan kebanjiran informasi – termasuk informasi-informasi yang tidak diinginkan. Artinya, bertanya (yang ternyata mempunyai fungsi kontrol terhadap informasi yang bakal diterima) menjadi kurang signifikan dalam komunikasi via internet. Memasuki dunia informasi internet bagaikan masuk ke dalam sebuah pasar atau mall raksasa yang riuh dengan teriakan, jawilan, rayuan penjaja – termasuk rayuan gombal dan kebohongan. Bila dalam perilaku bertanya secara konvensional kita masih bisa mengontrol pada siapa kita akan mencari informasi, dalam dunia internet para pemberi informasi tanpa wajah dengan leluasa beramai-ramai menyerbu kita. Demikianlah, perkembangan teknologi menuntun terjadinya perubahan sikap dan perilaku komunikasi manusia.

Bercermin dari contoh perkembangan teknologi informasi di atas, kita melihat hubungan dialektis antara dunia sehari-hari yang dihadapi dengan akal sehat dan dunia ilmu sebagai sebuah disiplin. Perubahan yang dibawa masuk ke dalam dunia sehari-hari oleh perkembangan ilmu pada gilirannya akan memberi pengaruh pada dunia ilmu itu sendiri. Hubungan dialektis semacam itu juga berlaku bagi ilmu-ilmu sosial-budaya. Perkenalan suatu masyarakat dengan agama dunia, yang juga memiliki bentuk kebenaran yang lain dari kebenaran akal-sehat maupun kebenaran ilmu pengetahuan, pada gilirannya menelorkan perubahan-perubahan dalam ilmu sosial-budaya. Demikian pula ketika paham evolusi yang bermula dari evolusi biologis diterapkan pada evolusi sosial-budaya, dunia keseharian dengan akal-sehatnya pun mengalami kegoncangan dan memerlukan penyesuaian.

Salah satu butir penting yang bisa disimpulkan dari paparan di atas adalah bahwa ‘nyawa’ dari kegiatan ilmiah tidak lain berupa pertanyaan yang perlu senantiasa dipupuk-kembangan serta dicarikan jawabnya melalui prosedur-prosedur keilmuan tertentu. ‘Tahu’ dalam arti hafal hanya menghasilkan hal-hal yang nantinya akan dilupakan, ‘tahu’ dalam arti dapat mengoperasikan hanya akan menghasilkan tukang-tukang ilmu pengetahuan; sementara, lebih dari kedua bentuk ‘tahu’ tersebut, ‘tahu’ dalam arti menguasai memerlukan pemahaman dan penguasaan mengenai prinsip-prinsip kerja keilmuan. Hanya dalam bentuk ‘tahu’ yang terakhir itulah kita dapat berperan-serta secara aktif dalam dunia ilmu.

Cultural Studies

Bidang ilmu pengetahuan yang relatif baru ini dengan sengaja mengambil kata majemuk sebagai penamaan diri, yakni studies (kajian-kajian), bukannya study (kajian). Penamaan ini dengan sendirinya menyiratkan sikap dan positioning para penggagas cultural studies terhadap kondisi ilmu pengetahuan di era modern yang terkotak-kotak, saling mengklaim kebenaran, meskipun lambat laun dimengerti juga bahwa kebenaran yang dihasilkan disiplin ilmu pengetahuan bersifat parsial. Kondisi semacam itu dijawab oleh cultural studies dengan menempuh strategi inter dan multidisipliner. Cultural studies memasukkan kontribusi teori maupun metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk mengedepankan realita kehidupan umat manusia maupun representasinya yang dipandang krusial dalam kehidupan mutakhir.

Karena cultural studies merupakan bidang keilmuan yang multi, maka wilayah kajian, pendekatan, teori dan konsep, maupun pendekatan metodologisnya pun sangat bervariasi; sehingga tidak mungkin dibahas selengkap-lengkapnya dalam makalah ini. Berikut hanya akan dibahas beberapa hal yang saya pandang berkaitan dengan sejarah sosial (untuk bahasan selebihnya, silakan baca buku Chris Barker).

Salah satu ciri terpenting cultural studies adalah pemahamannya terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang perlu dicermati. Hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, diomongkan, didengar, dilihat, digunjingkan, dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan merupakan wilayah amatan cultural studies. Budaya bukanlah yang adiluhung saja. Pemahaman serupa ini sebenarnya tidak jauh berbeda dari pemahaman antropologis atas budaya sebagai keseluruhan cara hidup (way of life) sekelompok masyarakat. Salah satu pondasi terpenting bagi pendekatan yang memandang budaya sebagai kegiatan sehari-hari adalah pemahaman tentang konstruksi sosial atas realita (the social construction of reality). Dalam perspektif ini realitas dipahami dan diabaikan, diperbincangkan dan dilupakan, dihidupi atau dimatikan, dikelola atau dirusak, dimanfaatkan atau dihindari, berdasarkan sistem konstruksi yang beredar di kalangan warga masyarakat. ‘Tugas’ cultural studies adalah membongkar dan memaparkan unsur-unsur penyusun konstruk tersebut dan cara kerjanya, agar manusia sebagai subyek dapat melibatkan diri secara aktif dalam dunia konstruksi.

Dalam era teknologi informasi dewasa ini perhatian cultural studies terhadap masalah konstruksi sosial atas realita telah mengarahkan perhatian mereka pada media komunikasi massa, khususnya televisi – namun, sebenarnya juga pada film, internet, handphone, radio, koran, majalah, poster, kotbah/pidato, gosip, dan sebagainya. Persoalan yang diajukan adalah perihal kaitan antara representasi dan media yang digunakan.

Di samping itu, perspektif atau cara pandang cultural studies juga ditandai dengan adanya kesadaran tentang kehadiran relasi kuasa (power relations) tak berimbang di antara para pelaku budaya, yang terwujud melalui kuasa ekonomis, politis, ideologis, keagamaan, pendidikan, magis; di samping jasmaniah. Perhatian cultural studies terutama diberikan pada kelompok atau individu pelaku budaya yang terpinggirkan (marginalized), yang suaranya tidak didengarkan, yang kehadirannya diabaikan. Berkaitan dengannya, beberapa konsep terpenting dalam pendekatan konstruksi sosial atas realita adalah hegemoni dan identitas. Selanjutnya pemihakan pada yang terpinggirkan membawa cultural studies pada pemikiran, strategi dan praktik resistensi.

Dalam hal metodologi, cultural studies secara garis besar ditandai dengan gabungan antara metode dekonstruktif (mengurai unsur-unsur pembentuk struktur) dengan analisis teksutal (membedah struktur teks/bentuk ekspresi), metode etnografi (penggambaran rinci berdasarkan kacamata pemilik budaya), analisa respesi (komunikasi dipahami sebagai peristiwa interaktif antara sender dan reseptor yang dijembatani oleh media tertentu dalam konteks tertentu), dan meletakkan teori pada tingkatan praxis (‘teori’ yang dipraktikkan – theory of practice).

Dari Persamaan/Perbedaan ke Penyamaan/Pembedaan

Di antara ilmu-ilmu kemanusiaan lain, antropologi mempunyai posisi khusus dalam perbincangan seputar keragaman budaya. Kekhususan posisi yang dimaksud adalah bahwa antropologi merupakan ilmu yang sejak awal pertumbuhannya di akhir abad 19 hingga awal abad 21 ini menempatkan perbedaan dan keragaman budaya manusia sebagai fokus kajiannya. Dalam rentang waktu lebih dari dua abad antropologi berusaha mencerna others (orang lain), yang di awal abad 20 dipahami secara sederhana sebagai orang non-Eropa-Amerika atau lebih tepatnya orang-orang kulit berwarna (merah, kuning, coklat, hitam), beserta cara hidup mereka yang berbeda dari cara hidup orang kulit putih. Bukti-bukti keberadaan orang-orang kulit berwarna dan cara kehidupan mereka dikumpulkan dari keempat penjuru dunia, dikelompokkan, untuk akhirnya dimaknai. Seiring dengannya dikembangkan pula metode-metode keilmuan yang dipandang tepat untuk mencerna others dan difference, dan pemikiran tentang perbedaan cara hidup mereka pun dirumuskan dalam bentuk teori-teori (dari teori evolusi, difusi, fungsional, fungsional-struktural, struktural (Perancis), hingga teori-teori interpretatif dan pos-struktural).

Namun perhatian antropologi pada others, difference, atau keragaman budaya tidak serta merta ilmu ini membawa pada pemahaman tentang multikultural sejak dari awal. Pemahaman tentang multikultural berjalan seiring dengan gerak persebaran manusia di permukaan bumi yang menunjukkan gejala peningkatan sejak jaman kolonialisme, dan terus meluas saat bangsa-bangsa di daerah jajahan meraih kemerdekaan, hingga kini – saat jaring-jaring ekonomi, komunikasi dan transportasi melintasi dunia dan mempermudah orang berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain. Tidak seperti pada masa sebelumnya, yaitu saat others dan difference berciri spasial – yakni dijumpai di luar wilayah sendiri; saat ini others dan difference ada di dalam wilayah spasial sendiri, di halaman depan rumah kita.

Dalam situasi sekarang ini, yang oleh seorang antropolog Amerika berdarah India disebut global ethnoscape, budaya-budaya memang tetap memuat perbedaan; namun perbedaan tidak lagi bersifat taksonomis, melainkan interaktif (Appadurai, 1991). Perbedaan lebih dilihat sebagai hasil tindakan interaktif membedakan daripada sebagai sebuah esensi. Dengan kata lain, perbedaan (seperti halnya kesamaan) lebih dipahami ibarat sebuah titik pada seutas tali yang dapat digeser ke kanan atau ke kiri. Demikianlah terjadi perubahan cara pandang dalam antropologi, misalnya, dari pemahaman suatu kelompok budaya sebagai ethnic (etnik, suku-bangsa) menjadi ethnicity (etnisitas, kesuku-bangsaan); dari Batak menjadi ke-Batak-an. Namun perlu ditambahkan, bahwa pada perspektif konstruktif ini perlu ditambahkan catatan bahwa ‘penggeseran’ titik pembatas kesamaan atau perbedaan hanya dapat dilakukan sepanjang utas tali tempat titik itu berada. Lebih jelasnya: pembedaan dan penyamaan dua atau lebih entitas hanya dapat dilakukan di atas landasan substansi yang nyata-nyata ada pada entitas-entitas tersebut. Implikasi lebih lanjut dari perspektif konstruktif seperti di atas berupa pemahaman tentang dimensi power relation (relasi kuasa) dalam tindak pembedaan/penyamaan (Eriksen, 1993). Dengan demikian, sifat multikultur atau keragaman pun – sebagai akibat dari tindak pembedaan dan penyamaan – berdimensi kuasa.

Perubahan tata pergaulan masyarakat dunia dan perkembangan pemikiran antropologis mengenai perbedaan/persamaan dan keragaman seperti digambarkan singkat di atas membawa problematika pada bidang etik ilmu ini. Permasalahan etik yang terimbas adalah persoalan relativitas budaya dan etnosentrisme. Etnosentrisme, suatu cara penilaian others berdasarkan sistem nilai sendiri, pada umumnya dipandang sebagai salah satu ‘dosa besar’ yang harus dijauhi antropolog. Kritik tajam yang dilancarkan para antropolog pada pendiri ilmu ini antara lain berupa tuduhan sikap etnosentris para pencetus teori evolusi waktu itu. Dalam pandangan mereka, budaya seharusnya dinilai dengan menggunakan ukuran yang dipakai pemilik budaya itu sendiri, bukan hanya dalam persoalan penilaian moralitas, tetapi juga dalam cara pemahamannya. Sebagai tandingan atas etnosentrisme, dilancarkan pandangan relativitas (kenisbian) budaya.
http://belajarsejarahsosial.blogspot.com/

MANUSIA SEBAGAI MAHLUK INDIVIDU DAN MAHLUK SOSIAL

MANUSIA SEBAGAI MAHLUK INDIVIDU DAN MAHLUK SOSIAL
Penggolongan manusia yang paling utama adalah berdasarkan jenis kelaminnya. Secara alamiah, jenis kelamin seorang anak yang baru lahir entah laki-laki atau perempuan. Anak muda laki-laki dikenal sebagai putra dan laki-laki dewasa sebagai pria. Anak muda perempuan dikenal sebagai putri dan perempuan dewasa sebagai wanita.
Penggolongan lainnya adalah berdasarkan usia, mulai dari janin, bayi, balita, anak-anak, remaja, akil balik, pemuda/i, dewasa, dan (orang) tua.
Selain itu masih banyak penggolongan-penggolongan yang lainnya, berdasarkan ciri-ciri fisik (warna kulit, rambut, mata; bentuk hidung; tinggi badan), afiliasi sosio-politik-agama (penganut agama/kepercayaan XYZ, warga negara XYZ, anggota partai XYZ), hubungan kekerabatan (keluarga: keluarga dekat, keluarga jauh, keluarga tiri, keluarga angkat, keluarga asuh; teman; musuh) dan lain sebagainya.


Penggolongan Manusia Berdasarkan Biologi

Ciri Fisik
Dalam biologi, manusia biasanya dipelajari sebagai salah satu dari berbagai spesies di muka Bumi. Pembelajaran biologi manusia kadang juga diperluas ke aspek psikologis serta ragawinya, tetapi biasanya tidak ke kerohanian atau keagamaan. Secara biologi, manusia diartikan sebagai hominid dari spesies Homo sapiens. Satu-satunya subspesies yang tersisa dari Homo Sapiens ini adalah Homo sapiens sapiens. Mereka biasanya dianggap sebagai satu-satunya spesies yang dapat bertahan hidup dalam genus Homo. Manusia menggunakan daya penggerak bipedalnya (dua kaki) yang sempurna. Dengan ada nya kedua kaki untuk menggerakan badan, kedua tungkai depan dapat digunakan untuk memanipulasi obyek menggunakan jari jempol (ibu jari).
Rata-rata tinggi badan perempuan dewasa Amerika adalah 162 cm (64 inci) dan rata-rata berat 62 kg (137 pound). Pria umumnya lebih besar: 175 cm (69 inci) dan 78 kilogram (172 pound). Tentu saja angka tersebut hanya rata rata, bentuk fisik manusia sangat bervariasi, tergantung pada faktor tempat dan sejarah. Meskipun ukuran tubuh umumnya dipengaruhi faktor keturunan, faktor lingkungan dan kebudayaan juga dapat mempengaruhinya, seperti gizi makanan.
Anak manusia lahir setelah sembilan bulan dalam masa kandungan, dengan berat pada umumnya 3-4 kilogram (6-9 pound) dan 50-60 centimeter (20-24 inci) tingginya. Tak berdaya saat kelahiran, mereka terus bertumbuh selama beberapa tahun, umumnya mencapai kematangan seksual pada sekitar umur 12-15 tahun. Anak laki-laki masih akan terus tumbuh selama beberapa tahun setelah ini, biasanya pertumbuhan tersebut akan berhenti pada umur sekitar 18 tahun.
Warna kulit manusia bervariasi dari hampir hitam hingga putih kemerahan. Secara umum, orang dengan nenek moyang yang berasal dari daerah yang terik mempunyai kulit lebih hitam dibandingkan dengan orang yang bernenek-moyang dari daerah yang hanya mendapat sedikit sinar matahari. (Namun, hal ini tentu saja bukan patokan mutlak, ada orang yang mempunyai nenek moyang yang berasal dari daerah terik dan kurang terik; dan orang-orang tersebut dapat memiliki warna kulit berbeda dalam lingkup spektrumnya.) Rata-rata, wanita memiliki kulit yang sedikit lebih terang daripada pria.
Perkiraan panjang umur manusia pada kelahiran mendekati 80 tahun di negara-negara makmur, hal ini bisa tercapai berkat bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jumlah orang yang berumur seratus tahun ke atas di dunia diperkirakan berjumlah [1] sekitar 50,000 pada tahun 2003. Rentang hidup maksimal manusia diperhitungkan sekitar 120 tahun.
Sementara banyak spesies lain yang punah, Manusia dapat tetap eksis dan berkembang sampai sekarang. Keberhasilan mereka disebabkan oleh daya intelektualnya yang tinggi, tetapi mereka juga mempunyai kekurangan fisik. Manusia cenderung menderita obesitas lebih dari primata lainnya. Hal ini sebagian besar disebabkan karena manusia mampu memproduksi lemak tubuh lebih banyak daripada keluarga primata lain. Karena manusia merupakan bipedal semata (hanya wajar menggunakan dua kaki untuk berjalan), daerah pinggul dan tulang punggung juga cenderung menjadi rapuh, menyebabkan kesulitan dalam bergerak pada usia lanjut. Juga, manusia perempuan menderita kerumitan melahirkan anak yang relatif (kesakitan karena melahirkan hingga 24 jam tidaklah umum). Sebelum abad ke-20, melahirkan merupakan siksaan berbahaya bagi beberapa wanita, dan masih terjadi di beberapa lokasi terpencil atau daerah yang tak berkembang di dunia saat ini.
1. Manusia Sebagai Makhluk Individu
Individu berasal dari kata in dan devided. Dalam Bahasa Inggris in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan devided artinya terbagi. Jadi individu artinya tidak terbagi, atau satu kesatuan. Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individium yang berarti yang tak terbagi, jadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan tak terbatas.
Manusia sebagai makhluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut sebagai individu. Dalam diri individi ada unsur jasmani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.
Setiap manusia memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tidak ada manusia yang persis sama. Dari sekian banyak manusia, ternyata masing-masing memiliki keunikan tersendiri. Seorang individu adalah perpaduan antara faktor fenotip dan genotip. Faktor genotip adalah faktor yang dibawa individu sejak lahir, ia merupakan faktor keturunan, dibawa individu sejak lahir. Kalau seseorang individu memiliki ciri fisik atau karakter sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotip). Faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Ligkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya. Lingkungan sosial, merujuk pada lingkungan di mana eorang individu melakukan interaksi sosial. Kita melakukan interaksi sosial dengan anggota keluarga, dengan teman, dan kelompok sosial yang lebih besar.
Karakteristik yang khas dari seeorang dapat kita sebut dengan kepribadian. Setiap orang memiliki kepribadian yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh faktor bawaan genotip)dan faktor lingkungan (fenotip) yang saling berinteraksi terus-menerus.
Menurut Nursid Sumaatmadja (2000), kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psiko-fiskal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan. Dia menyimpulkan bahwa faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukan karakteristik yang khas dari seeorang.

2. Manusia Sebagai Makhluk Sosial
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia.
Tanpa bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya.
Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karrena beberapa alasan, yaitu:
a. Manusia tunduk pada aturan, norma sosial.
b. Perilaku manusia mengaharapkan suatu penilain dari orang lain.
c. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain
d. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.


B. Interaksi Sosial dan Sosialisasi

1. Interaksi Sosial
Kata interaksi berasal dari kata inter dan action. Interaksi sosial adalah hubungan timbal balik saling mempengaruhi antara individu, kelompok sosial, dan masyarakat. Interaksi adalah proses di mana orang-oarang berkomunikasi saling pengaruh mempengaruhi dala pikiran danb tindakana. Seperti kita ketahui, bahwa manusia dalam kehidupan sehari-hari tidaklah lepas dari hubungan satu dengan yang lain.
Interaksi sosial antar individu terjadi manakala dua orang bertemu, interaksi dimulai: pada saat itu mereka saling menegeur, berjabat tangan, saling berbicara, atau bahkan mungkin berkelahi. Aktivitas-aktivitas semacam itu merupakan bentuk-bentuk dari interaksi sosial.
Interaksi sosial terjadi dengan didasari oleh faktor-faktor sebagai berikut
a. Imitasi adalah suatu proses peniruan atau meniru.
b. Sugesti adalah suatu poroses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau peduman-pedoman tingkah laku orang lain tanpa dkritik terlebih dahulu. Yang dimaksud sugesti di sini adalah pengaruh pysic, baik yang datang dari dirinya sendiri maupuhn dari orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya kritik. Arti sugesti dan imitasi dalam hubungannya, dengan interaksi sosial adalaha hampir sama. Bedanya ialah bahwa imitasi orang yang satu mengikuti salah satu dirinya, sedangkan pada sugesti seeorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya, lalu diterima oleh orang lain di luarnya.
c. Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identi (sama) dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun batiniah.
d. Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar logis rasional, melainkan berdasarkan penilain perasaan seperti juga pada proses identifikasi.

2. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial
Bentuk-bentuk intraksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan pertentangan (conflict). Suatu keadaan dapat dianggap sebagai bentuk keempat dari interaksi sosial, keempat pokok dari interaksi sosial tersebut tidak perlu merupakan kontinuitas dalam arti bahwa interaksi itu dimulai dengan adanya kerja sama yang kemudian menjadi persaingan serta memuncak menjadi pertiakain untuk akhirnya sampai pada akomodasi.
Gilin and Gilin pernah mengadakan pertolongan yang lebih luas lagi. Menurut mereka ada dua macam pross sosial yang timbul sebagaiu akibat adanya interaksi sosial, yaitu:
a. Proses Asosiatif, terbagi dalam tiga bentuk khusus yaitu akomodasi, asimilasi, dan akulturasi.
b. Proses Disosiatif, mencakup persaingan yang meliputi “contravention” dan pertentangan pertikain.
Adapun interaksi yang pokok proses-proses adalah:
1) Bentuk Interaksi Asosiatif
a. Kerja sama (cooperation)
Kerja sama timbul karena orientasi orang perorangan terhadap kelompoknya dan kelompok lainnya. Sehubungan dengan pelaksanaan kerja sama ada tiga bentuk kerja sama, yaitu:
v Bargainng, pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
v Cooperation, proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi, sebagai salah satu carta untuk menghindari terjadinya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan
v Coalition, kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempynyai tujuan yang sama.

b. Akomodasi (accomodation)
Adapun bentuk-bentuk akomodasi, di antaranya:
v Coertion, yaitu suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan karena adanya paksaan.
v Compromise, suatu bentuk akomodasi, di mana pihak yang terlibat masing-masing mengurangi tuntutannya, agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada.
v Arbiration, suatu cara untuk mencapai compromise apabila pihak yang berhadapan tidak sanggup untuk mencapainya sendiri
v Meditation, hampir menyerupai arbiration diundang pihak ke tiga yang retial dalam persoalan yang ada.
v Conciliation, suatu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak yang berselisih, bagi tercapainya suatu tujuan bersama.
v Stelemate, merupakan suatu akomodasi di mana pihak-pihak yang berkepentingan mempunyai yang seimbang, berhenti pada titik tertentu dalam melakukan pertentangan.
v Adjudication¸ yaitu perselisihan atau perkara di pengadilan.

2) Bentuk Interaksi Disosiatif
a. Persaingan (competition)
Persaingan adalah bentuk interaksi yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang bersaing untuk mendapatkan keuntungan tertentu bagi dirinya dengan cara menarik perhatian atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan kekerasan.
b. Kontraversi (contaversion)
Kontraversi bentuk interaksi yang berbeda antara persaingan dan pertentangan. Kontaversi ditandai oleh adanya ketidakpastian terhadap diri seseorang, perasaan tidak suka yang disembunyikannya dan kebencian terhadap kepribadian orang, akan tetapi gejala-gejala tersebut tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian.
c. Pertentangan (conflict)
Pertentangan adalah suatu bentuk interaksi antar individu atau kelompok sosial yang berusaha untuk mencapai tujuannya dengan jalan menentang pihak lain disertai ancaman atau kekerasan. Pertentangan memiliki bentuk khusus, antara lain: pertentangan pribadi, pertentangan rasional, pertentangan kelas sosial, dan pertentanfan politik.
3. Sosialisasi
Peter Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai suatu proses di mana seorang anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat (Berger, 1978:116).
Salah satu teori peranan dikaitkan sosialisasi ialah teori George Herbert Mead. Dalkam teorinya yang diuraikan dalam buku Mind, Self, and Society (1972). Mead menguraikan tahap-tahap pengembangan secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat lain, yaitu melalui beberapa tahap-tahap play stage, game sytage, dan tahap generalized other.


4. Bentuk dan Pola Sosialisasi

a. Bentuk-bentuk Sosialisasi
Sosialisasi merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang hidup manusia. Dalam kaitan inilah para pakar berbicara mengenai bentuk-bentuk proses sosialisasi seperti sosialisasi setelah masa kanak-kanak, pendidikan sepanjang hidup, atau pendidikan berkesinambungan.

b. Pola-pola Sosialisasi
Pada dasarrnya kita mengenal dua pola sosialisasi, yaitu pola represi yang menekankan pada penggunaan hukuman terhadap kesalahan. Dan pola partisipatori yabg merupakan pola yang didalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku baik dan anak menjadi pusat sosialisasi.

c. Masyarakat dan Komunitas
Masyarakat itu merupakan kelompok atau kolektifitas manusia yang melakuakn antar hubungan, sedikit banyak bersifat kekal, berlandaskan perhatian dan tujuan bersama, serta telah melakukan jalinan secara berkesinambungan dalam waktu yang relatif lama. Unsur-unsur masyarakat yaitu: kumpulan orang, sudah terbentuk dengan lama, sudah memiliki sistem dan struktur sosial tersendiri, memiliki kepercayaan, sikap, dan perilaku yang dimiliki bersama, adanya kesinambungan dan pertahanan diri, dan memiliki kebudayaan.

a. Masyarakat Setempat (community)
Masyarakat setempat menunjukan pada bagianmasyarakat yang bertempat tinggal disatu wilayah (dalam arti geografis) dengan batas-batas tertentu dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar diantara anggota-anggotanya, dibandingkan interaksi dengan penduduk diluar batas wilayahnya.

b. Masyarakat Desa dan Masyarakat Kota
Menurut Soerjono Soekamto, masyarakat kota dan desa memiliki perhatian yang berbeda, khususnya terhadap perhatian keperluan hidup. Di desa, yang diutamakan adalah perhatian khusus terhadap keperluan pokok, fungsi-fungsi yang lain diabaikan. Lain dengan pandangan orang kota, mereka melihat selain kebutuhan pokok, mereka melihat selain kebutuhan pokok, pandangan sekitarnya sangat mereka perhatikan.

c. Masyarakat Multikultural
Perlu diketahui, ada tiga istilah yang digunakan secara bergantian untuk mengambarkan masyarakat yang terdiri atas agama, ras, bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu pluralitas, keragaman, dan multikultural.

Konsep pluralitas menekankan pada adanya hal-hal yang lebih dari satu (banyak). Keragaman menunjukan bahwa keberadaanya yang lebih dari satu itu berbeda-beda, heterogen, dan bahkan tidak dapat dipersamakan. Sementara itu, konsep multikultralisme sebenarnya merupakan konsep yang relatif baru. Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain secara sama sebagai kesatuan, tanpa memperdulikan perbedaan budaya, etnik, gender, bahasa ataupun agama. Jadi, apabila pluralitas hanya menggambarkan kemajemukan, multikulturalisme meberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama diruang publik.
d. Pengaruh Multikultural Terhadap Kehidupan Beragama, Bermasyarakat, Bernegara dan Kehidupan Global
Problematika yang muncul dari keragaman yaitu munculnya berbagai kasus disintegrasi bangsa dan bubarnya sebuah negara, dapat disimpulkan adanya lima faktor utama yang secara gradual bisa menjadi penyebab utama proses itu, yaitu: kegagalan kepemimpinan, krisis ekonomi yang akut dan berlangsung lama, krisis politik, krisis sosial, dan intervensi asing.
Realitas keragaman budaya bangsa ini tentu membawa konsekuensi munculnya persoalan gesekan antar budaya, yang mempengaruhi dinamika kehidupan bangsa sebagai kelompok sosial, oleh sebab itu kita harus bersikap terbuka melihat semua perbedaan dalam keragaman yang ada, meenjunjung tinggi nilai-nilai kesopanan, dan menjadikan keragaman sebagai kekayaan bangsa, alat pengikat persatuan seluruh masyarakat dalam kebudayaan yang beraneka ragam.

Menurut Mead pada tahap pertama, play stage, seorang anak kecil mulai belajar mengambil peranan orang-orang yang berada di sekitarnya.

Pada tahap game stage seorang anak tidak hanya telah mengetahui peranan yang harus dijalankannya, tetapi telah pula mengetahui peranan yang harus dijalankan oleh orang lain dengan siapa ia berinteraksi.

Pada tahap ketiga sosialisasi, seseorang dianggap telah mampu mengambil peran-peran yang dijalankan orang lain dalam masyarakat yaitu mampu mengambil peran generalized others. Ia telah mampu berinteraksi denagn orang lain dalam masyarakat karena telah memahami peranannya sendiri serta peranan orang-orang lain dengan siapa ia berinteraksi.

Menurut Cooley konsep diri (self-concept) seseorang berkembang melalalui interaksinya dengan orang lain. Diri yang berkembang melalui interaksi dengan orang lain ini oleh Cooley diberi nama looking-glass self.
Cooley berpendapat looking-glass self terbentuk melalui tiga tahap. Tahap pertama seseorang mempunyai persepsi mengenaoi pandangan orang lain terhadapnya. Pada tahap berikut seseorang mempunyai persepsi mengenai penilain oreang lain terhadap penampilannya. Pada tahap ketiga seseorang mempunyai perasaan terhadap apa yang dirasakannya sebagai penilaian orang lain terhadapnya itu.
Pihak-pihak yang melaksanakan sosialisasi itu menurut Fuller and Jacobs (1973:168-208) mengidentifikasikan agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan.
http://id.wikipedia.org/wiki/Manusia
http://apadefinisinya.blogspot.com/2009/01/manusia-sebagai-makhluk-individu-dan.html